Pertanyaan:
Izin menanyakan ustadz, Allah ta’ala tertempat di atas Arsy apakah artinya Allah ta’ala bertempat di Arsy? Apa benar demikian? Bagaimana bersama perkataan “Allah ada tanpa tempat”? Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Pertama, akidah bahwa Allah ta’ala tersedia di atas Arsy-Nya yang mulia adalah hal yang dinyatakan didalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara tegas dan lugas. Di enam daerah di didalam al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia (Allah) istiwa di atas ‘Arsy.” (QS. al-A’raf: 54, Yunus: 3, ar-Ra’d: 2, al-Furqan: 59, as-Sajdah: 4, dan al-Hadid: 4)
Allah ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Kemudian ar-Rahman (yaitu Allah) berada di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5)
Dan dalil ayat-ayat al-Qur’an yang lainnya. Demikian terhitung dalil dari as-Sunnah. Di antaranya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَمَّا قَضَى االلهُ الخَلْقَ، كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ: إنَّ رَحْمَتي سَبَقَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah memutuskan takdir semua makhluk, Allah menulis (di Lauhul Mahfudz) dikala berada di atas Arsy suatu perkataan yaitu: sebetulnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” (HR. Bukhari no.7453, Muslim no.2751)
Ini adalah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang diyakini oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para salafus shalih, dan para imam Ahlussunnah, dan tidak tersedia khilafiyah di pada mereka didalam kasus ini. Imam adz-Dzahabi didalam kitab al-‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar menukil perkataan Ishaq bin Rahuwaih (wafat 238H), bahwa beliau berkata:
قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة
“Allah ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Ar-Rahman ber-istiwa di atas Arsy’, ini adalah ijma para ulama yakni bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, dan Allah tahu segala suatu hal hingga di bawah bumi yang ketujuh.” (Al-‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar karya adz-Dzahabi, no. 179)
Qutaibah bin Sa’id (wafat 240H) mengatakan:
هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله: (الرحمن على العرش استوى)
“Ini adalah pendapat para imam Islam, imam Ahlussunnah Wal Jama’ah, yakni bahwa kita tahu Rabb kita tersedia di langit ketujuh, di atas Arsy, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): ‘Ar-Rahman ber-istiwa di atas Arsy‘ (QS. Thaha: 5).” (Al-‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, no. 470)
Ibnu Bathah (wafat 387H) mengatakan:
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين، وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه، فوق سماواته بائن من خلقه، وعلمه محيط بجميع خلقه، لا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية
“Kaum muslimin dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in dan juga para ulama kaum mu’minin bersepakat bahwasanya Allah Tabaraka wa Ta’ala berada di atas Arsy, di atas langit-langit dan terbedakan bersama makhluk-Nya. Adapun pengetahuan Allah meliputi semua makhluk. Tidak tersedia yang menolak dan mengingkari kepercayaan ini kecuali orang-orang yang terbujuk mazhab hululiyah.” (Al-Ibanah al-Kubra, 7/136)
Kedua, istiwa artinya tinggi dan menetap di atas sesuatu. Dalam al-Mu’jam al-Muhith disebutkan,
اسْتَوَى على كذا، أو فوقه: علا وصَعد
“Istiwa di atas suatu hal artinya: tinggi dan naik (ke atas sesuatu).”
Dalam ash-Shihhah fil Lughah disebutkan,
استوى على ظهر دابته، أي علا واستقر
“Istiwa di atas hewan tunggangan, artinya: tinggi dan menetap (di atas hewan tunggangan).”
Maka Allah istiwa di atas Arsy maknanya Allah Maha Tinggi berada di atas Arsy-Nya.
Ketiga, adapun perkataan “Allah bertempat di atas Arsy” ini tidak terkandung mirip sekali didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Tidak tersedia nash yang tunjukkan Allah memiliki pembawaan al-makan (tempat). Tidak pula dinukil dari para salafus shalih bahwa mereka menyebutkan “Allah bertempat di atas Arsy” atau yang semakna dengannya.
Sehingga pembawaan ini tidak bisa kita tetapkan dan terhitung tidak segera kita ingkari. Dalam menanggapi kata-kata ini, mesti diperjelas khususnya dahulu apa makna “tempat” yang dimaksudkan. Jika “tempat” yang dimaksud adalah daerah sebagaimana yang tersedia terhadap makhluk, yang menghambat suatu hal yang tersedia di dalamnya, maka Allah tidak bertempat. Namun kecuali “tempat” di sini maksudnya adalah Arsy, maka kita mesti memutuskan bahwa Allah ta’ala istiwa di atas Arsy, tidak boleh diingkari.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
إن أراد بنفي المكان : المكان المحيط بالله – عز وجل – فهذا النفي صحيح ، فإن الله تعالى لا يحيط به شيء من مخلوقاته ، وهو أعظم وأجل من أن يحيط به شيء ، كيف لا ( والأرض جميعا قبضته يوم القيامة والسماوات مطويات بيمينه ) ؟ .
“Jika yang dimaksud bersama “tempat” adalah daerah yang meliputi Allah azza wa jalla, maka pengingkaran ini benar (yaitu bahwa Allah tidak bertempat). Karena Allah ta’ala tidak diliputi oleh satu pun dari makhluk-Nya. Bahkan Allah lebih agung dan lebih mulia untuk bisa diliputi oleh suatu makhluk. Bagaimana tidak? Bukanlah didalam hadits disebutkan: ‘Bumi seutuhnya berada didalam genggaman-Nya di hari Kiamat. Langit seutuhnya dilipat di tangan kanan-Nya?’”
وإن أراد بنفي المكان : نفي أن يكون الله تعالى في العلو ، فهذا النفي غير صحيح ، بل هو باطل بدلالة الكتاب والسنة ، وإجماع السلف والعقل والفطرة
“Namun kecuali yang dimaksud “Allah tidak bertempat” adalah Allah tidak Maha Tinggi (di atas Arsy), maka ini keliru. Bahkan ini adalah kebatilan yang udah dibantah oleh al-Qur’an, as-Sunnah, ijma salaf, akal sehat, dan fitrah yang lurus.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 1/196-197)
Ibnul Qayyim didalam syair Nuniyah-nya mengatakan:
والرب فوق العرش والكرسي لا * يخفى عليه خواطر الإنسان
لا تحصروه في مكان إذ تقو * لوا ربنا حقا بكل مكان
نزهتموه بجهلكم عن عرشه * وحصرتموه في مكان ثان
لا تعدموه بقولكم لا داخل * فينا ولا هو خارج الأكوان
Rabb berada di atas ‘Arsy dan Kursi, namun tidak tersedia yang samar bagi-Nya terhitung apa yang tersedia di benak manusia.
Janganlah kalian batasi Allah bersama suatu tempat, bersama bicara “Allah tersedia di mana-mana.“
Kalian berusaha mengingkari Allah di atas Arsy bersama kejahilan kalian, justru kalian udah menghambat Allah terhadap daerah yang lainnya.
Dan janganlah kalian meniadakan-Nya bersama mengucapkan “Allah tidak berada di didalam (alam) bersama kita, dan Dia terhitung tidak berada di luar alam.” (Nuniyah Ibnul Qayyim, hal. 295)
Perhatikan, di sini beliau memutuskan Allah di atas Arsy namun menafikan pernyataan bahwa Allah dibatasi tempat, yakni daerah didalam rancangan makhluk.
Keempat, Allah ta’ala istiwa di atas Arsy tidak artinya Allah butuh kepada Arsy untuk menetap. Karena beberapa poin berikut:
1. Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy bukanlah artinya Allah diangkat dan dibawa oleh ‘Arsy. Allah berada di atas ‘Arsy namun tidak artinya Allah diangkat dan dibawa oleh ‘Arsy sehingga Allah butuh kepada ‘Arsy.
2. Allah itu al-Ghaniy, tidak butuh kepada makhluk-Nya terhitung ‘Arsy. Justru ‘Arsy yang butuh kepada Allah. Karena semua makhluk itu butuh kepada Allah sehingga ia senantiasa eksis, terhitung terhitung ‘Arsy. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
“Sesungguhnya Allah menghambat langit dan bumi sehingga jangan lenyap; dan sungguh kecuali keduanya bakal lenyap tidak tersedia seorang pun yang bisa menghambat keduanya tidak cuman Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun ulang Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 41)
3. Menetapnya A di atas B, tidak melazimkan bahwa A pasti butuh terhadap B. Buktinya langit tersedia di atas bumi, namun langit tidak butuh terhadap bumi. Padahal langit dan bumi adalah makhluk Allah. Maka bagaimana ulang perkaranya terhadap Allah ‘Azza Wa Jalla yang qaadirun ‘ala kulli syai’, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Allah yaf’alu maa yuriid, Maha Kuasa untuk melakukan apa yang Ia kehendaki? Maka lebih mungkin ulang bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy tanpa butuh kepada ‘Arsy.
4. Istiwa Allah pasti tidak mirip bersama istiwa makhluk. Jangan dilukiskan bahwa Allah ta’ala menetap di atas ‘Arsy didalam suasana duduk, atau berbaring, atau bersila, atau semacamnya sebagaimana kecuali makhluk ber-istiwa di atas sesuatu. Allah ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak tersedia sesuatupun yang mirip bersama Allah, dan Dia Maha Mendengar ulang Maha Melihat.” (QS. asy-Syura: 11)
Walhasil, perkataan “Allah ta’ala bertempat di atas Arsy” tidak terkandung mirip sekali didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Tidak pula dinukil dari para salafus shalih. Oleh sebab itu hendaknya perkataan layaknya ini dihindari. Sudah cukup bagi kita untuk menyebutkan apa yang ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah bahwa Allah ta’ala istiwa di atas Arsy atau Allah ta’ala Maha Tinggi di langit atau Allah ta’ala Maha Tinggi di atas semua makhluk-Nya.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala berikan taufik.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. (sc: konsultasisyariah.com)
Posting Komentar