Sholawat Nabi

Bismillaah. 

Hukum Membaca Shalawat Nabi bersama dengan Dinyanyikan dan 5 Tata Cara Bershalawat.

Bersholawat merupakan kegiatan yang kerap atau setidaknya dulu dijalankan sekurang-kurangnya satu kali oleh penduduk muslim di semua indonesia. Membahas perihal sholawat Nabi, mengerti saja kami akan dihadapkan bersama dengan beraneka macam jenisnya, setidaknya itulah yang diketahui masyarakat-masyarakat kita.

Namun disini kami akan mengulas apakah hukum membaca shalawat nabi bersama dengan dinyanyikan layaknya yang dulu dijalankan oleh beberapa masyarakat. Dalam sebuah Hadist pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali. (HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah)

Tentu saja gara-gara hadist berikut lah, maka bersholawat untuk Nabi merupakan keliru satu kegiatan yang patutnya diketahui dan dijalankan oleh umat-umat muslim di semua dunia.

Namun kecuali kami mengulas lebih dalam, apakah sholawat yang kerap kami lantunkan berikut sudah sesuai bersama dengan syariat? Menghadapi pertanyaan layaknya itu tentu saja kami tidak bisa segera menyimpulkan bersama dengan semena-mena, bisnis lanjutan dibutuhkan untuk menilik jauh ke belakang demi mempelajari tata langkah sholawat yang benar menurut ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dari itu, di dalam atrikel ini, kami akan mengkajinya.

Sebelum mengerti hukum membaca shalawat nabi bersama dengan dinyanyikan , kami kudu mengerti satu hal yang penting, yaitu : “Sholawat Utamanya adalah mendoakan Nabi, Bukan memuji-muji Nabi (Secara berlebihan).” (Jangan disalah artikan bahwa memuji-muji Nabi itu tidak boleh. Boleh, namun di dalam konteks ini mendoakan lah yang lebih utama). Atas dasar itulah nampak pertanyaan,

Bagaimana Sholawat Menurut Sunnah yang Diajarkan Rasulullah?

Sholawat pun sejatinya sebetulnya ada tata caranya. Dan sebaik-baik sholawat yang dilantunkan, adalah sholawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa kami tidak bisa bersholawat (dalam konteks ini mendoakan Nabi) bersama dengan menyebabkan tata langkah sendiri, atau turut tata langkah bervariasi yang lazim dijalankan masyarakat? Tentu saja gara-gara hal-hal berikut tidak ada dasarnya dan berpotensi menujurus kepada kemusyrikan (bid’ah).

Dalam Fiqih, dijelaskan ada setidaknya 8 Lafadz sholawat yang hukumnya Shaih (yang diajarkan Rasulullah melalui Hadist). Dan yang paling ringkas adalah :

Allahumma shallii wa sallim ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad” (Shahih. HR. At-Thabrani melalui dua isnad)

5 Tata Cara Bershalawat yang Benar


Lantas perihal tata langkah di dalam bersholawat, Seperti Apakah Rasulullah mencontohkannya? Berikut kami bagi di dalam beberapa poin. Atas beragam sumber yang shahih, para ulama membaginya jadi beberapa indikator :

1. Shalawat kudu shahih

Sholawat yang dibaca sejatinya kudu sholawat yang  shahih dan disyari’atkan, gara-gara sholawat juga dzikir, dan dzikir juga ibadah. Bukan shalawat yang dibuat-buat oleh manusia (bid’ah), gara-gara tabiat bid’ah sebetulnya adalah kesesatan.

2 . Tata langkah dan bacaan harus benar

Semakin banyak bersholawat, maka makin baik. Tidak dibatasi oleh jumlah, area dan waktu. Satu satunya pembatasan adalah tata langkah dan bacaan (tidak boleh ditambah-tambahi).

3. Dilantunkan bersama dengan pelan

Dilantunkan bersama dengan nada yang pelan. Karena bersholawat juga dzikir. Sedangkan di pada adab berdzikir, yaitu bersama dengan nada yang dipelankan, kecuali ada dalil yang perlihatkan (harus) diucapkan bersama dengan keras. Allah berfirman di dalam QS, Al-A’raf ayat 205 :

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu di dalam hatimu bersama dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan bersama dengan tidak mengeraskan suara, di pas pagi dan petang, dan janganlah kamu juga orang-orang yang lalai. (Al A’raf : 205)

4. Dibaca sendiri

Dilakukan sendiri, tidak berjamaah. Karena membaca sholawat juga dzikir dan ibadah, sehingga kudu berdasarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. tidak ada dalil yang membenarkan bershalawat bersama dengan berjama’ah (bersama-sama). Pasalnya, kecuali dijalankan berjama’ah, tentu dibaca bersama dengan keras, dan ini bertentangan bersama dengan adab dzikir yang diperintahkan Allah, yaitu bersama dengan pelan.

5. Tidak diiringi bersama dengan rebana atau alat musik

Membaca sholawat tidak boleh diiringi bersama dengan Rebana (atau alat musik style apapun), gara-gara tidak dulu dicontohkan oleh Rasulullah dan itu juga bid’ah. Perbuatan ini sama bersama dengan rutinitas yang kerap dijalankan oleh orang-orang Sufi. Mereka membaca Qasidah dan Sya’ir diiringi lantunan musik dan menyebutnya bersama dengan makna Sama’ atau takbir.

Memang terhadap penerapannya, kami dicontohkan untuk beribadah secara diam-diam (tidak riya’). Mengingat Ibadah merupakan urusan individual kami kepada Allah. Dalam suatu hadist yang lain bahkan Rasulullah dulu menegur sahabat-sahabatnya gara-gara mengucapkan takbir bersama dengan amat keras.

Abu Musa Al Asy’ari berbicara :

لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسُ عَلَى وَادٍ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيرِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ لِي يَا عَبْدَاللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسُ عَلَى وَادٍ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيرِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ لِي يَا عَبْدَاللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّه

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, selanjutnya mereka meninggikan nada bersama dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Pelanlah, sebetulnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yang tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama dengan kamu (dengan ilmuNya, pendengaranNya, penglihatanNya, dan pengawasanNya, Pen.).”

Dan saya (Abu Musa) di belakang hewan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendengar saya mengatakan: Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Kemudian beliau bersabda kepadaku,”Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).” Aku berkata,”Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,”Maukah saya perlihatkan kepadamu terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di pada simpanan-simpanan surga?”

Aku menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda,”Laa haula wa laa quwwata illa billah.”

(HR Bukhari, no. 4205; Muslim, no. 2704)

Atas kajian di atas, tentu saja kami bisa menyita anggapan perihal hukum membaca shalawat nabi bersama dengan dinyanyikan yang sangatlah jelas. Bahwasanya tiap-tiap ibadah yang dijalankan kudu didasari dari hadist dan tuntunan yang jelas. Tujuannya adalah untuk jauhi bid’ah dan kemusyrikan. Akan beresiko kecuali kami tidak mengerti ilmunya dan kami hanya laksanakan suatu amalan atas dasar ikut-ikut saja bersama dengan orang lain.

Sangat perlu bagi kami untuk mendekati sumber kajian pengetahuan yang tepat sehingga kami tidak keliru di dalam bersholawat. Seperti bersama dengan jauhi langkah bersholawat yang tidak ada dalilnya layaknya bershalawat bersama dengan dinyanyikan, gara-gara ini tidak dulu dicontohkan oleh para pendahulu kami dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Wallahu a’lam.

Semoga, kajian perihal hukum membaca shalawat nabi bersama dengan dinyanyikan, bisa jadi sebuah pengingat untuk kami sehingga kami jadi manusia yang lebih baik. Perlu ditekankan bahwa pengetahuan Fiqih adalah pengetahuan yang amat di dalam pemahamannya, jadi alangkah baiknya untuk para pembaca sehingga lebih mantap di dalam meniatkan ibadah, maka carilah sumber-sumber lain yang sifatnya shahih untuk menolong isikan kajian diatas.

Semoga kami tetap diberikan petunjuk untuk tetap terjadi di jalan yang lurus.

Insya Allah.

Aamiin ya Allah. 

Semoga yang sedikit ini bisa di Fahami. (sc:TengkuBasalamah)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama